“Kalau lagu den naiak, den tembak kapalo den surang (kalau laguku naik, akan ku tembak kepalaku sendiri),” ucap seorang remaja SMP usia belasan pada temannya. Aku mendengar percakapan itu di sebuah kota kecil di pesisir barat Sumatera, sekitar tahun 2011 atau 2012 silam. Saat itu aku bahkan lebih belia daripada remaja yang melontarkan kalimat provokatif itu.
Ternyata ia tengah menceritakan Kurt Cobain, frontman fenomenal band Nirvana yang ditemukan tewas dengan luka tembak menganga lagi menghancurkan kepala, serta shotgun yang masih melekat di tangannya. Remaja itu ternyata tengah “berperan” sebagai sang rockstar depresif.
Ia mungkin terlalu berlebihan dalam memperagakan Kurt Cobain. Namun gitaris cum vokalis itu memang tercatat pernah menyampaikan kalimat-kalimat ini: “I hate myself and I want to die (aku benci diri sendiri dan aku mau mati)”, “It’s better to burned out than fade away (lebih baik terbakar habis daripada memudar)”. Ia memang dikenal punya kecenderungan untuk bunuh diri dan mati muda.
Konon Kurt pernah berkata, ia hanya ingin menjadi musisi, dikenal, lalu mati. Hmm, fakta yang lumayan kasar untuk bocah kikuk sepertiku. Bagaimana ambisi hanya untuk bermain musik dan mengundang pendengar menjadi alasan seorang pemuda 27 tahun untuk merasa cukup dengan kehidupannya, sehingga kematian pun terasa lebih memanggil?
Selain heroin dan berbagai macam zat, apakah musik dan seni datang sebagai obat bagi orang-orang muram seperti Kurt Cobain? Oh ya, dengan tidak melupakan fakta bahwa Kurt tetaplah pria dengan mata biru yang memikat. Cewek dari bangsa mana yang tidak setuju bahwa ia terlihat cute?
Namun tampaknya Kurt Cobain telah melaju terlalu kencang. Ntah apa “kendaraannya”: apakah Nirvana sebagai sebuah band atau persona pribadi sang rockstar pembangkang.
Ketenaran yang keterlaluan tampaknya justru membawa “racun-racun” baru bagi si anak korban perceraian ini, selain ketergantungannya yang parah terhadap obat-obatan kimia. Apa pun itu: tuntutan untuk bersikap sesuai kehendak orang lain, sorotan publik yang mulai mengusik kedamaian pribadi dan berbagai macam ampas popularitas.
Sebelum pelatuk shotgun itu ditarik dan meledakkan batok kepalanya, mungkin Kurt sudah terpanggang dalam neraka yang hanya ia sendiri rasakan. Siapa yang salah?
Yang pasti, bermusik membawa Kurt lebih dekat pada kedamaian dan kebahagiaan. “Nirvana” dalam ajaran Buddha adalah pembebasan tertinggi atas derita.
Lantas, kenapa Kurt masih mau minggat dari kehidupan di bumi ini? Mungkinkah ia terlalu buru-buru untuk mencapai Nirvana yang sebenarnya itu? Apakah ia sudah merasa mendapatkannya? Atau justru masih merasa kurang dan ingin menggenapkannya dengan jalan yang singkat?
Jika bermusik bagi Kurt adalah obat, mungkin ketenaran yang ia dapat adalah efek sampingnya. Namun bagaimana jika seandainya Kurt tidak seterkenal itu? Sehingga ia masih punya jauh lebih banyak waktu untuk dirinya sendiri dan musiknya? Untuk Nirvana itu sendiri…
*
Seorang pastor di Katedral Padang pernah meminjamiku buku The Story of Philosophy karya Bryan Magee terbitan Kanisius, sebuah penerbit yang terkait dengan lembaga Katolik. Menarik, seorang agamawan yang sehari-harinya di lingkungan gereja meminjamiku sebuah buku yang juga memuat mereka yang “anti-Tuhan”.
Ilustrasinya menarik, sangat memuaskan gairah kanak-kanak yang masih ada dalam diriku. Perhatianku tertuju kepada ilustrasi binatang buas yang tengah menerkam hewan buruannya. Singa itu tampak seperti kesetanan lagi penuh nafsu mengoyak badan rusa yang malang. Agak seram juga. Masih dalam bab yang sama, ada lukisan potret pria tua ubanan-botak di tengah dengan raut wajah suram.
Dugaanku benar, ia ternyata orang yang sangat pesimis. Ia memandang dunia sebagai tempat yang “gelap lagi rapuh”, dan manusia sangat rentan diperbudak oleh apa yang disebut sebagai “kehendak”. Pokoknya si tua ini menganggap dunia pada dasarnya lebih banyak menampung penderitaan.
Dan ia menyebut sumber penderitaan itu sebagai “kehendak”. Dalam bahasa Jerman, bahasa asli Arthur Schopenhauer: ‘wille’. Kehendak akan selalu ada, sedangkan sarana pemenuhannya terbatas. Hasil alam, harta benda, kekuasaan, semuanya terbatas. Derita muncul ketika kehendak tidak terpenuhi.
Adakah jalan untuk bebas dari penderitaan akibat kehendak tersebut? Salah satunya adalah jalan estetik, walau bersifat sementara. Kesenian sebagai bagian estetika bisa mengurangi rasa sakit akibat derita dan tekanan di sekitar manusia.
Wah si tua Schopenhauer ternyata sangat butuh seni. Walau punya tampang suram dan kaku, ternyata ia keranjingan bermain seruling. Setidaknya, musik menawar kepedihanmu ya?
*
Tahun 2016 lalu aku tertegun memerhatikannya. Sosok ramping berotot kering itu menengadah menantang langit. Tangan kanannya seolah menggapai ke atas, seperti hendak menangkap pesan dari Yang Maha Tinggi. Di atas jembatan Harmoni, Jakarta ia berlari dengan lagak hendak melampaui pulau Jawa menuju Gunung Olimpus yang amat jauh itu.
Itulah sebabnya di alas kaki dan helmnya terpasang sayap. Dialah Hermes, dewa favoritku dari kisah mitologi Yunani. Kendati yang pernah aku temukan hanya patungnya-sebuah peninggalan zaman penjajahan Belanda, Hermes membuatku ingin jadi atlet lari. Tapi aku terlalu pemalas menekuni rutinitas olahraga. Lagi pula aku perokok berat.
Namun Hermes bukan hanya pelindung para atlet. Ia juga dewa bagi para pengelana. Para pejalan. Lebih daripada itu, ia adalah pengantar pesan bagi para dewa lainnya. Dan aku sangat ingin Hermes selalu ada di sisiku: sebagai pejalan dan pengantar pesan.
Karena aku tidak hidup di bawah kekuasaan para penguasa Olimpus itu, aku tidak mungkin membawa pesan para dewa. Keinginanku sederhana saja: membawa pesan-pesan rakyat dan kabar-kabar yang perlu. Menjadi jurnalis.
Sebegitu besarnya pengaruh fiksi ciptaan Homer serta patung bercorak Yunani kuno itu bagi jalan hidup pilihanku. Tidak mengherankan jika berabad-abad orang Yunani menghayati kisah para dewa dan dewi Olimpus. Walau punya kekuatan yang tidak masuk akal, para dewa itu juga berbuat kesalahan-kesalahan yang banyak ditemukan pada manusia, sehingga lagi-lagi kita bisa menerima kehidupan yang rendah ini.
Begitulah pengaruh estetika: persoalan keindahan dan seni, bahkan dalam kisah tragis yang mengandung kepedihan sekalipun.
Penulis dan pemikir abad ke-19, Friedrich Nietzsche (1844-1900) juga menggemari kisah mitologi Yunani. Ia mengagumi teater tragedi yang memadukan suka dan duka dalam panggungnya. Pertemuan semangat dewa Apollo yang tertib lagi menenangkan dan dewa Dionysian yang memabukkan serta memancing gejolak.
“Bangsa yang paling mampu menggoda kita untuk memasuki kehidupan-mereka adalah bangsa yang membutuhkan tragedi? Atau lebih lagi-seni? Untuk apa,” begitu komentar Nietzsche tentang kesenian orang Yunani. Belum pernahkah ia bergerak ke arah timur?
Dalam teater tragedi khas Yunani, kita turut diantar menyaksikan kengerian dalam kehidupan. Namun juga menumbuhkan keberanian yang membuat kengerian itu jadi dapat diterima.
Bagi Nietzsche, seni mengobati penderitaan yang selalu muncul seiring dengan jalannya kehidupan. Kalaupun kehidupan tidak punya arah yang pasti, seni membuatnya tetap layak dijalani.
Pemikir-pemberontak ini terkenal dengan kumisnya yang nyaris menutupi hampir seluruh mulut, hingga senyum pun bisa tersamarkan. Namun ia punya perasaan yang mungkin lebih halus daripada kumis atau bulu hidungnya itu.
Pada pagi hari tahun 1889 di Turin, Italia seekor kuda rubuh tanpa daya setelah dicambuki penunggangnya secara brutal. Melihat itu, Nietzsche ikut terguncang membayangkan derita hewan malang itu. Ia menyemprotkan murka pada si penunggang, lalu luluh memeluk kuda itu sembari berbisik.
Tidak ada yang mendengar secara langsung pesan dalam suara lirih itu. Tapi hingga kematiannya pada 1900, Nietzsche dilanda kegilaan.
Oh, mungkinkah Kurt Cobain dan kawan-kawan sejenisnya sengaja mati muda agar tidak harus merasakan kegilaan itu? Memangnya gila itu menyakitkan? Gila itu apa?
Lalu untuk apa kita membicarakan estetika, perkara seni, dan keindahan ini? Apa sebenarnya ‘indah’ itu? Ah persetan dengan kesepakatan, besok boleh temani aku nonton gigs sekalian cari komik bekas?
(Daffa Benny)
Referensi
Charles R. Cross, Heavier than Heaven (2001)
Bryan Magee, The Story of Philosophy (1998)
Martin Suryajaya, Sejarah Estetika (2016)
Friedrich Nietzsche, The Birth of Tragedy (1872)
Leave a Reply