Ilustrasi oleh Diah Putranti Rahmaning Tiyas

Anakku, Senimantik

Bagiku, hubungan antara orang tua dengan anak mungkin adalah salah satu bentuk hubungan yang paling rumit. Di satu sisi, orang tua menghadirkanku di dunia, lalu merawat dan membesarkanku. Namun, apakah kau atau aku sebenarnya menginginkan dan meminta untuk tumpah di bumi yang penuh samsara ini?

Lupakan itu, faktanya adalah aku telah hadir di bumi tanpa aku minta. Tentu saja aku berhak untuk memilih seperti apa aku menghadapi kehidupan. Lalu orang tua muncul sebagai penasihat atau otoritas. Kasih sayang, rasa hormat, konflik, permusuhan, semua mungkin saja hadir. Kompleks kan?

Hingga saat ini pun aku belum mendapat kesimpulan tentang bagaimana “berbakti kepada orang tua”. Aku tidak selalu menuruti permintaan orang tuaku. Tentu hubunganku dengan mereka pun tidak selalu baik.

Namun terlepas dari itu semua, aku sadar bahwa mereka menaruh harapan besar terhadapku. Bahwa aku adalah salah satu alasan terbesar mereka untuk kuat menghadapi cobaan dan tantangan hidup. Bahwa mereka tidak akan pernah berhenti memikirkan dan memedulikanku.

Ibuku mungkin gemar mengomeliku, namun di balik risau dan amarahnya, akulah penawar lara. Almarhum bapakku mungkin lumayan otoriter, tapi dialah yang mengenalkanku bagaimana cara menikmati hidup sebagai pria yang sederhana.

Bapakku meninggal dunia Mei 2018 silam. Ia mewariskan padaku kegandrungan akan komik, sastra, dan musik terutaman rock dan heavy metal. Selama kurang lebih 4 tahun terakhir kehidupan fisiknya, ia menanggung derita akibat penyakit jantung yang mungkin juga berkomplikasi dengan penyakit lainnya.

Namun hingga jelang akhir hayatnya, matanya selalu menyembunyikan rasa sakit setiap ia memandangku dengan belas kasih. Anak-anaknya adalah penawar derita yang paling ampuh.

Semenjak kehilangan dirinya, aku sering larut dalam imaji romantik hubungan bapak dan anak. Bagaimana jika aku punya anak? Apakah aku harus menunggu kaya dan kawin dulu?

Rasa haus akan jati diri mengantarkanku pada pengalaman menjadi wartawan serta menggali-gali ‘lorong’ untuk menekuni seni. Semakin kemari pun, aku menduga absurditas eksistensiku semakin banyak memberikan tekanan, tantangan, sekaligus sensasi.

Tentu saja aku butuh penawar, tempat aku bisa menggantung harap dan percaya bahwa masa depan bisa aku terima. Dalam suasana seperti itulah Senimantik hadir sebagai anakku… (Daffa Benny)


Posted

in

by

Tags:

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *